Pria Kerdil
Hujan rintik menyelimuti kota tua yang memiliki
mayoritas orang kerdil. Kota itu cukup besar sehingga masih banyak lahan kosong.
Saking banyaknya mungkin rumput liar pun bosan tumbuh di lahan kosong tersebut.
Diantara lahan kosong yang masih berserakan itu terdapat danau sleek, danau
bekas letusan gunung tak begitu besar memang. Danau yang ditumbuhi banyak
tanaman enceng gondok tersebut sungguhlah sunyi. Hanya ada suara jangkrik dan
pohon pinus besar yang mengelilingi beserta perdu yang tumbuh tidak wajar.
Dihari minggu, lelaki kerdil setengah baya selalu
bersarang di danau tersebut, Cok namannya. Kehidupan mortalnya dihabiskannya
untuk memancing dengan anaknya, cik, yang masih berusia 7 tahun. Bisa dibilang
nasib Cok sama dengan bentuk tubuhnya, kerdil, dimana kerdil selalu
dikonotasikan buruk oleh kebanyakan orang. Dia memiliki istri cantik hanya
dalam kurun waktu 2 tahun karena sang istri meninggal disaat sedang sarapan
dengan hasil tangkapan suaminya. Duri gurami yang menyangkut di tenggorokannya
mampu membuat malaikat yang sedang menyesap kopi dibuatnya bekerja, alhasil Cok
tinggal bersama putri semata wayangnya.
Seperti hari-hari minggu biasanya Cok bersiap
menunaikan agenda membosankan yang sebenarnya tak begitu membosankan, memancing.
Tepat pukul 6 pagi Cok mengemasi alat-alat yang sekiranya perlu dibawa mulai
dari pancing, kail, umpan secukupnya hingga roti kering untuk berjaga-jaga jika
lambung mulai murka beserta rokok 2 pak karena itu perlu. Pukul 8 Cok berangkat
mengenakan jaket kulit yang sengaja tidak dicuci selama 2 bulan dan celana
jeans yang mirip kudapan busuk. Dia berangkat sendiri karena cik anak perempuan
semata wayangnya masih tertidur lelap dan Cok tak tega membangunkannya.
Menggunakan motor yang bisa kau temui di pasar antik
dengan harga permen karet, 60 menit Cok menyusuri jalan berbatu terjal pelan
tapi pasti. Ketika perjalanan Cok selalu membayangkan bertemu sosok alien tepat
berada di atas kepalanya yang sedang berpikir keras tentang sudahkan dia
menyiapkan sarapan pada anak kesayangannya. Di waktu kecilnya hingga sekarang Cok
sangatlah terobsesi ingin bertemu sosok alien setelah menonton film bertema
alien dimana dipikirannya digambarkan alien itu makhluk hijau besar berkapala
mirip kacang polong gagal panen dan memakai miniset dan memilik kendaraan yang
mirip toples dengan lampu-lampu hias mengelilingi benda tersebut. Entah kenapa
harus memakai miniset, mungkin Cok akan menggaulinya jika memang benar seperti
itu.
Setelah 60 menit Cok sampai di danau sleek. Seperti
minggu-minggu biasanya Cok selalu disambut oleh suara jangkrik yang seolah
berkata, "ini dia lelaki yang perlu kita tertawakan" karena memang Cok
perlu untuk ditertawakan. Cok sampai di danau pukul 09.30, telat 30 menit hal
itu bisa dimaklumi karena memang jalanan sedang tidak coCok dengan motor
bututnya dan lebih pentingnya lagi tidak akan ada manusia yang memarahi karena
terlambat. Lagipula ini juga bukan hal yang penting, -eh semua hal yang ada
dibumi pun sebenarnya juga tak kalah tak penting-. Cok memulai kegiatannya
dengan mengambil sebuah joran pancing dan umpan cacing dan mulai menanamkan
kailnya ke dasar danau dengan harapan ikan-ikan bodoh yang sering mandi tetapi
tetap saja bau amis mau memakan umpan.
Selagi menunggu umpan dimakan, di benak Cok selalu
memikirkan toples bersinar yang didalamnya terdapat alien memakai miniset
supaya bisa disetubuhi hingga tak terasa matahari mulai bekerja di tempat lain.
Waktu menunjukan pukul 19.15 dan Cok hanya mendapat beberapa ikan tongkol yang
sama sekali jauh dari kata enak jika digoreng atau digodog atau disangrai atau
direbus atau di apapun dan berniat untuk istirahat sejenak. Dia lupa dengan mi
instan-nya, sebelum dia membuka bungkus mi instan Cok mengamati lalu membaca
dengan seksama apa yang tertulis di bungkus tersebut, "Mie paling enak se-antero,
kesukaan manusia beserta alien, buka disini". "Sialan, apa-apaan ini!",
gerutunya sambil membuka bungkus mi lalu mencapur bumbu yang sudah di sediakan
"Persetan dengan tata cara pembuatan, jadi makanan kok ngatur"
gumamnya lagi.
Cok langsung menyantap mi kering yang rasanya seperti
kau merasakan pasir pantai. Selesai memakan mi, Cok mengambil rokoknya yang
sedari tadi belum dijamah. Dipantik-nya korek ke rokok kreteknya, hirup kadar
nikotin begitu mendalam hingga Cok memejamkan kedua matanya. "Kadang hidup
tak seburuk yang dipikirkan" gumamnya.
Setelah Cok membuka matanya dan menengadah ke atas,
dilihatlah cahaya kecil yang cukup banyak berjalan di langit yang saat itu
sedang mendung. Sambil menyesap kreteknya, Cok terus menatap cahaya-cahaya berjalan itu
dan Cok percaya bahwa lampu itu adalah alien, ya alien hijau yang kepalanya
menyerupai kacang polong gagal panen dan memakai miniset. Cok langsung
meninggalkan peralatannya dan mengikuti kemana arah cahaya itu pergi. Dia
berpikir dan yakin dia akan bisa bersetebuh malam ini.
Cahaya itu menuju ke hutan yang tak jauh dari danau
sleek. Suara danau yang sunyi kini diisi oleh suara hentakan kaki Cok yang
sedang berlari. Cok tak sadar jika dia sudah sampai ke tengah hutan,
perasaannya mulai berbeda dan cahaya itu muncul juga dari semak-semak. Begitu
banyak sehingga Cok ingin menghitungnya, "1,2,3,4, ....". Tak sampai
hitungan ke 5, tiba-tiba Cok mendengar suara gemerisik yang berasal dari arah
belakang. Cok membalikkan tubuhnya dan mendapati seekor babi hutan berukuran
sebesar bak mandi sedang berlari cepat menuju ke arahnya. Cok bersiap-siap
untuk menghindar, namun terlambat. Moncong babi hutan itu mendarat tepat di
perut Cok.
Napas Cok sesak. Cok merasakan sesuatu menyentuh
dinding ususnya. Seketika Cok jatuh terjerembab ke tanah. Babi hutan itu masih
menyodok-nyodokkan moncongnya ke arah perut Cok. Aku berusaha menahan
moncongnya dengan kedua tangannya. Samar-samar, Cok melihat cairan yang keluar
deras dari bagian kanan perutnya. Warnanya merah. Pandangannya semakin gelap.
Saat itulah Cok ingat kalau belum memberi sarapan ke putri semata wayangnya.