Minggu, 13 Maret 2016


Pria Kerdil




Hujan rintik menyelimuti kota tua yang memiliki mayoritas orang kerdil. Kota itu cukup besar sehingga masih banyak lahan kosong. Saking banyaknya mungkin rumput liar pun bosan tumbuh di lahan kosong tersebut. Diantara lahan kosong yang masih berserakan itu terdapat danau sleek, danau bekas letusan gunung tak begitu besar memang. Danau yang ditumbuhi banyak tanaman enceng gondok tersebut sungguhlah sunyi. Hanya ada suara jangkrik dan pohon pinus besar yang mengelilingi beserta perdu yang tumbuh tidak wajar.
Dihari minggu, lelaki kerdil setengah baya selalu bersarang di danau tersebut, Cok namannya. Kehidupan mortalnya dihabiskannya untuk memancing dengan anaknya, cik, yang masih berusia 7 tahun. Bisa dibilang nasib Cok sama dengan bentuk tubuhnya, kerdil, dimana kerdil selalu dikonotasikan buruk oleh kebanyakan orang. Dia memiliki istri cantik hanya dalam kurun waktu 2 tahun karena sang istri meninggal disaat sedang sarapan dengan hasil tangkapan suaminya. Duri gurami yang menyangkut di tenggorokannya mampu membuat malaikat yang sedang menyesap kopi dibuatnya bekerja, alhasil Cok tinggal bersama putri semata wayangnya.
Seperti hari-hari minggu biasanya Cok bersiap menunaikan agenda membosankan yang sebenarnya tak begitu membosankan, memancing. Tepat pukul 6 pagi Cok mengemasi alat-alat yang sekiranya perlu dibawa mulai dari pancing, kail, umpan secukupnya hingga roti kering untuk berjaga-jaga jika lambung mulai murka beserta rokok 2 pak karena itu perlu. Pukul 8 Cok berangkat mengenakan jaket kulit yang sengaja tidak dicuci selama 2 bulan dan celana jeans yang mirip kudapan busuk. Dia berangkat sendiri karena cik anak perempuan semata wayangnya masih tertidur lelap dan Cok tak tega membangunkannya.
Menggunakan motor yang bisa kau temui di pasar antik dengan harga permen karet, 60 menit Cok menyusuri jalan berbatu terjal pelan tapi pasti. Ketika perjalanan Cok selalu membayangkan bertemu sosok alien tepat berada di atas kepalanya yang sedang berpikir keras tentang sudahkan dia menyiapkan sarapan pada anak kesayangannya. Di waktu kecilnya hingga sekarang Cok sangatlah terobsesi ingin bertemu sosok alien setelah menonton film bertema alien dimana dipikirannya digambarkan alien itu makhluk hijau besar berkapala mirip kacang polong gagal panen dan memakai miniset dan memilik kendaraan yang mirip toples dengan lampu-lampu hias mengelilingi benda tersebut. Entah kenapa harus memakai miniset, mungkin Cok akan menggaulinya jika memang benar seperti itu.
Setelah 60 menit Cok sampai di danau sleek. Seperti minggu-minggu biasanya Cok selalu disambut oleh suara jangkrik yang seolah berkata, "ini dia lelaki yang perlu kita tertawakan" karena memang Cok perlu untuk ditertawakan. Cok sampai di danau pukul 09.30, telat 30 menit hal itu bisa dimaklumi karena memang jalanan sedang tidak coCok dengan motor bututnya dan lebih pentingnya lagi tidak akan ada manusia yang memarahi karena terlambat. Lagipula ini juga bukan hal yang penting, -eh semua hal yang ada dibumi pun sebenarnya juga tak kalah tak penting-. Cok memulai kegiatannya dengan mengambil sebuah joran pancing dan umpan cacing dan mulai menanamkan kailnya ke dasar danau dengan harapan ikan-ikan bodoh yang sering mandi tetapi tetap saja bau amis mau memakan umpan.
Selagi menunggu umpan dimakan, di benak Cok selalu memikirkan toples bersinar yang didalamnya terdapat alien memakai miniset supaya bisa disetubuhi hingga tak terasa matahari mulai bekerja di tempat lain. Waktu menunjukan pukul 19.15 dan Cok hanya mendapat beberapa ikan tongkol yang sama sekali jauh dari kata enak jika digoreng atau digodog atau disangrai atau direbus atau di apapun dan berniat untuk istirahat sejenak. Dia lupa dengan mi instan-nya, sebelum dia membuka bungkus mi instan Cok mengamati lalu membaca dengan seksama apa yang tertulis di bungkus tersebut, "Mie paling enak se-antero, kesukaan manusia beserta alien, buka disini". "Sialan, apa-apaan ini!", gerutunya sambil membuka bungkus mi lalu mencapur bumbu yang sudah di sediakan "Persetan dengan tata cara pembuatan, jadi makanan kok ngatur" gumamnya lagi.
Cok langsung menyantap mi kering yang rasanya seperti kau merasakan pasir pantai. Selesai memakan mi, Cok mengambil rokoknya yang sedari tadi belum dijamah. Dipantik-nya korek ke rokok kreteknya, hirup kadar nikotin begitu mendalam hingga Cok memejamkan kedua matanya. "Kadang hidup tak seburuk yang dipikirkan" gumamnya.
Setelah Cok membuka matanya dan menengadah ke atas, dilihatlah cahaya kecil yang cukup banyak berjalan di langit yang saat itu sedang mendung. Sambil menyesap kreteknya,  Cok terus menatap cahaya-cahaya berjalan itu dan Cok percaya bahwa lampu itu adalah alien, ya alien hijau yang kepalanya menyerupai kacang polong gagal panen dan memakai miniset. Cok langsung meninggalkan peralatannya dan mengikuti kemana arah cahaya itu pergi. Dia berpikir dan yakin dia akan bisa bersetebuh malam ini.
Cahaya itu menuju ke hutan yang tak jauh dari danau sleek. Suara danau yang sunyi kini diisi oleh suara hentakan kaki Cok yang sedang berlari. Cok tak sadar jika dia sudah sampai ke tengah hutan, perasaannya mulai berbeda dan cahaya itu muncul juga dari semak-semak. Begitu banyak sehingga Cok ingin menghitungnya, "1,2,3,4, ....". Tak sampai hitungan ke 5, tiba-tiba Cok mendengar suara gemerisik yang berasal dari arah belakang. Cok membalikkan tubuhnya dan mendapati seekor babi hutan berukuran sebesar bak mandi sedang berlari cepat menuju ke arahnya. Cok bersiap-siap untuk menghindar, namun terlambat. Moncong babi hutan itu mendarat tepat di perut Cok.


Napas Cok sesak. Cok merasakan sesuatu menyentuh dinding ususnya. Seketika Cok jatuh terjerembab ke tanah. Babi hutan itu masih menyodok-nyodokkan moncongnya ke arah perut Cok. Aku berusaha menahan moncongnya dengan kedua tangannya. Samar-samar, Cok melihat cairan yang keluar deras dari bagian kanan perutnya. Warnanya merah. Pandangannya semakin gelap. Saat itulah Cok ingat kalau belum memberi sarapan ke putri semata wayangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar